Waste To Energy

Melanjutkan dari tulisan sebelumnya “Manfaat Limbah Untuk Energi” kali ini penulis akan mencoba sedikit berbagi mengenai teknologi yang digunakan khususnya proses termal untuk mengkonversi limbah menjadi energi.

TEKNOLOGI PENGOLAHAN WTE
1. In-Direct Thermal

In-direct Thermal adalah teknologi yang sangat memungkinkan dilakukan saat ini karena:

  • Tidak membutuhkan area yang luas
  • proses pengolahan lebih cepat
  • Kapasitas pengolahan dapat disesuaikan
  • Tenaga kerja lebih sedikit
  • Turunan produk hasil proses lebih beragam
  • Perawatan lebih mudah

Kekurangan dari teknologi In-direct Thermal adalah kebutuhan energi atau bahan bakar yang sangat besar dalam proses kerjanya sehingga dipandang tidak ekonomis atau dianggap hanya cocok dalam skala uji coba.

Untuk menyikapi hal tersebut di atas, penulis memiliki konsep dan teknologi berbeda dalam hal mengatasi kebutuhan energi yang besar yaitu dengan menambah teknologi Plasma Generator sehingga gabungan metode ini disebut Plasma In-direct Thermal. Dengan teknologi tambahan ini maka:

  • Kebutuhan awal energi dapat tereduksi hingga 50% dari kebutuhan normal
  • Mempercepat kenaikan suhu
  • Dalam skala tertentu dapat sekaligus menjadi generator listrik
  • Mampu hybrid dengan SynGas yang dihasilkan dari proses pirolisis/gasifikasi sehingga kebutuhan energi dapat kembali tereduksi hingga 70%

Penulis tidak merekomendasikan menggunakan teknologi Incinerator karena:

  • Direct burning, menyebabkan polusi baru di udara
  • Kelebihannya yang dapat membakar apapun jenis sampah menjadi masalah baru yaitu Incinerator Bottom Ash (IBA). IBA tidak boleh langsung dibuang atau ditimbun, harus di tangani lebih lanjut untuk memisahkan metal yang tidak hancur dalam proses insinerasi.

1.1. Gasifikasi

Gasifikasi adalah proses teknologi yang dapat mengubah bahan baku berbasis karbon seperti batubara dan biomass (kayu, rumput, gambut, sekam, tempurung, dan lainnya) menjadi bahan bakar gas atau istilah lainnya SynGas (gas sintetik). Gasifikasi terjadi di dalam gasifier, merupakan bejana bertemperatur/tekanan tinggi dimana oksigen (atau udara) dan uap panas secara langsung dikontakkan sehingga terjadi serangkaian reaksi kimia yang mengubah bahan menjadi syngas dan ash/slag (residu mineral).

Gasifikasi menawarkan alternatif cara yang lebih mapan untuk mengubah bahan baku menjadi listrik dan produk bermanfaat lainnya. Keuntungan gasifikasi dalam aplikasi dan kondisi tertentu, terutama dalam pembangkitan listrik bersih dari batubara, dapat menjadikannya bagian yang semakin penting dari pasar energi dan industri.

Fasilitas pengolahan sampah dengan teknologi gasifkasi terdapat di seluruh dunia tetapi sebagian besar ditemukan di Jepang. Gasifkasi plasma adalah teknologi baru untuk pengolahan sampah. Peralatan dan pembangkit gasifkasi plasma belum tersedia dan beroperasi di Indonesia namun BUMINES mampu memfabrikasi dan mengoperasikan peralatan ini.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM membuat siaran pers No. 80.pers/04/SJI/2022 Tanggal 19 Februari 2022 “Menteri ESDM: DME Lebih Hemat dan Efisien Dibanding LPG”. Ini adalah sinyal pergerakan perubahan atau konversi energi, dimana gas yang selama ini berasal dari minyak bumi beralih ke gas yang dihasilkan oleh batubara dengan proses gasifikasi. Proyek hilirisasi batubara menjadi DME tersebut merupakan hasil kerjasama perusahaan swasta Amerika yaitu Air Product & Chemical Inc., PT. Bukit Asam, dan Pertamina dengan nilai investasi sebesar USD 15 Milyar.

Pengolahan sampah berbasis gasifikasi tidak memerlukan biaya yang sangat besar seperti yang dilakukan perusahaan tersebut diatas, namun mempunyai tantangan bagaimana mengatur bahan baku terjaga kestabilannya sehingga sedikit banyak sektor pengolahan sampah dapat berperan mensukseskan misi Negara untuk konversi energi dengan menghasilkan syngas.

1.2. Pirolisis

Biomassa lignoselulosa adalah sumber karbon terbarukan yang paling melimpah di Bumi. Sumber biomassa yang tersedia termasuk residu hutan, sisa tanaman, tanaman energi yang ditanam untuk tujuan tertentu (misalnya rumput), kotoran hewan dan sisa makanan. Bahan-bahan ini adalah bagian struktural berserat tanaman dan sebagian besar terbuat dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Dibandingkan dengan bio-feedstock generasi pertama seperti gula, pati dan minyak nabati, alam telah membuat bagian-bagian tanaman ini sulit untuk didekonstruksi. Bio-refineries adalah fasilitas di mana biomassa diubah menjadi bio-fuel hidrokarbon yang tidak dapat dibedakan dari BBM berbasis fosil. Selain biomassa, jenis limbah plastik, kertas, dan karet dapat dilakukan pemrosesan pirolisis.

Pirolisis adalah salah satu teknologi yang tersedia untuk mengubah bahan menjadi produk cair yang dapat disuling menjadi bio-fuel hidrokarbon, aditif bahan bakar teroksigenasi, dan pengganti petrokimia. Pirolisis adalah pemanasan bahan tanpa adanya oksigen.

Karena tidak ada oksigen, pembakaran tidak terjadi, melainkan terurai secara termal menjadi gas dan bio-char yang mudah terbakar. Sebagian besar gas yang mudah terbakar ini dapat dikondensasi menjadi cairan yang mudah terbakar, yang disebut minyak pirolisis (bio-oil), dan gas permanen (CO2, CO, H2, hidrokarbon ringan). Dengan demikian, pirolisis menghasilkan tiga produk (bergantung bahan):

  • Bio-oil 40-70%
  • Bio-char 15-25%
  • Bio-gas/syngas 10-25%

Representasi Produk Pirolisis

mengenai Teknologi pirolisis yang berjalan saat ini di Indonesia yaitu di Senggigi Lombok NTB, kerjasama Pemerintah Daerah setempat dengan perusahaan dari Australia Geo Trash Management. Namun hanya terkhususkan pengolahan sampah kota jenis platik tertentu dengan kapasitas 1 ton per hari dan menghasilkan 600 lt per hari pirolisis bio-oil.

2. Microbial Decomposition

Secara biologis penghalusan bahan hingga nano partikel perlu dilakukan untuk mempermudah pemrosesan yang terbagi menjadi 3 (tiga) metode yaitu:

  • Anaerobic decomposition
  • Aerobic decomposition
  • Mixed decomposition

Dalam proses ini bakteri dan mikroba akan menghaluskan bahan yang membusuk sekaligus menguraikan dan memperkaya bahan itu sendiri. Pada tahap ini bahan akan di proses untuk menghasilkan:

  • Pupuk
  • Black Soldier Fly (BSF)
  • SynGas dan minyak pada proses lanjutan In-Direct Thermal

Jenis sampah dan limbah apa saja yang dapat di proses:

  • Sampah atau limbah kota
  • Limbah wet & dry sludge oil refinery
  • Limbah slag, bottom ash, fly ash PLTU Batubara
  • Limbah pabrik dan atau perkebunan (kelapa sawit, minyak kayu putih, tebu, jagung, kelapa, dll).

KESIMPULAN

Dengan sangat melimpah dan beragamnya jenis sampah dan limbah di Indonesia sangatlah penting untuk bersinergi melakukan penyelesaian, baik dari Pemerintah, swasta, akademisi, serta masyrakat. Teknologi WTE tidaklah harus dengan biaya yang mahal untuk penerapannya, namun kesungguhan dalam memaknai kebersamaan hidup dan bernegara untuk lingkungan yang berkelanjutan.

Dari sisi ekonomi pun sangat membantu banyak sektor, produk yang dihasilkan proses Plasma in-direct thermal & microbial decomposition seperti:

  1. SynGas
    Membantu mempercepat proses konversi energi yang gencar dilakukan di pemerintah.
  2. Bio-oil
    Membantu proses pasokan untuk pencampur BBM diesel dimana kebutuhan bio-oil hanya dipasok dari CPO (crude palm oil). Saat ini mandatori penggunaan bio-oil B30 dan akan ditingaktkan B40 tahun 2025.
  3. Bio-char
    Dapat menjadi bahan baku pembuatan briket dengan kualitas baik karna senyawa pengotornya telah terdegradasi selama pemrosesan. Briket merupakan energi alternatif yang juga memiliki pasar cukup besar. Juga dapat menjadi pengganti pupuk.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai teknologi konversi limbah untuk energi, penulis melalui BUMINES bersedia membuka ruang diskusi dalam hal pengembangan teknologi WTE dan atau metode pengembangan lainnya. Saat ini kami dalam pengembangan studi “Hidrogen Inti Energi Tanpa Fosil” dan “Ash to Energy” yang nantinya akan ditulis pada artikel lainnya, semoga bermanfaat.

ENERGI SEHARUSNYA MUDAH & MURAH

Ditulis Oleh:
M. Ramaedius, S.T., M.Sc.